Sederet perusahaan terkemuka dunia, diantaranya General Electric, telah mempraktekkan Six Sigma dan mereka telah merasakan hasilnya. Persoalannya bagaimana dengan penerapannya di Indonesia, mengingat tumpuan proses bisnis Six Sigma adalah pemberdayaan lini bawah, dengan menugaskan dan memonitor aktivitas bisnis setiap hari. Tujuannya, meminimalisir waste (buangan) dan optimalisasi sumberdaya, yang secara bersamaan juga dapat meningkatkan kepuasan konsumennya.
Bagiamana mungkin perusahaan ngirit sumberdaya tapi sekaligus meningkatkan kepuasan konsumen ? Begini penjelasannya. Jika defect rate tinggi alias sering terjadi kegagalan, maka banyak produk yang harus di-scrapt, atau dikerjakan ulang. Tentu ini meningkatkan biaya. Apalagi kalau sampai lolos ke pelanggan. Akan timbul biaya garansi, penggantian produk yang terpaksa dikembalikan oleh pelanggan, sampai kepada kekecewaan konsumen yang dapat berakibat pindahnya ke pelanggan lainnya. Ingat biaya menggaet pelanggan baru enam kali lipat daripada mempertahankan pelanggan yang sudah ada. Dan biaya yang muncul karena cacat (defect) tadi, tentu ujung-ujungnya dibebankan kepada produk, yang berarti pelanggan juga yang akan memikul biayanya. Tiadanya cacat berarti kualitas produk lebih baik dan kepuasan pelanggan menjadi lebih tinggi. Six Sigma bertugas untuk mengurangi cacat maupun kesalahan yang berintikan empat tahapan pokok – mengukur, menganalisa, mengembangkan dan mengontrol – sehingga kualitasnya tinggi tetapi biaya rendah dapat tercapai. Inilah konsep kualitas dari Six Sigma yang lebih mengarah kepada value, kualitas yang lebih baik sekaligus lebih murah.
Dalam implementasi Six Sigma perlu ditentukan fokus. Fokus di sini bisa berupa fokus dalam mengurangi biaya proyek yang dilakukan, fokus pada pengantaran produk/ layanan yang disediakan perusahaan, fokus pada proses bisnis, dan fokus pada permasalahan yang terjadi. Fokus yang lainnya dapat dilakukan dengan pendekatan geografis, penggunaan disain tertentu Six Sigma, fokus pada proses internal, fokus pada proses yang dijalankan supplier perusahaan, dan fokus pada konsumen.
Terdapat enam tahapan dalam implementasi Six Sigma. Pertama, disebut sebagai tahap discover. Yaitu menemukan kebutuhan untuk implementasi konsep ini dalam perusahaan. Kedua, decide yaitu persetujuan dari top management sekaligus menentukan tujuan dan lingkup penerapannya. Ketiga, organize, yaitu merancang anggaran, jangka waktu, dan melatih tim eksekutif yang ditunjuk untuk melakukan implementasi. Keempat, initialise yaitu merancang : ukuran, proses komunikasi, sumberdaya yang dibutuhkan, pelatihan untuk Black Belt (orang yang ditunjuk untuk menjalankan proses teknis dalam penerapan Six Sigma) , sekaligus merancang anggaran untuk Black Belt. Kelima, deploy yaitu memanfaatkan Champion ( key executives yang ditunjuk untuk merancang dan mengawasi jalannya implementasi proses Six Sigma) dan Black Belt dari proyek ini. Terakhir, sustain yaitu melatih orang-orang yang ditunjuk sebagai pelaksana harian yang sifatnya part time mereka dikenal sebagai Six Sigma Green Belts dan pimpinan tim untuk perbaikan proses bisnis (process improvement team leaders).
Kesuksesan penerapan Six Sigma ini amat tergantung dari beberapa hal, yang merupakan tantangan dalam penerapannya di perusahaan-perusahaan di Indonesia. Pertama visi dan komitmen manajemen puncak menjadi hal yang paling mendasar. Walaupun Six Sigma sangat menekankan pemberdayaan lini bawah, tetapi yang punya gawe tetap manajemen puncak. Ini adalah program yang harus digetok dari atas, dituntun oleh visi (yang dimiliki oleh para pimpinan puncak) dan komitmen yang tinggi.
Berarti dalam pelaksanannya tersirat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi jika diaplikasikan dalam konteks Indonesia. Sesuai dengan penekanannya, empowerment management harus berjalan. Kemudian melihat pembagian peran para Six Sigma Players, maka perlu model kepemimpinan tertentu yang harus dikondisikan, yaitu kepemimpinan dua sisi (kantor kami menyebut Quantum Leadership) : leadership dan followership. Seorang six sigma players, harus berperan sekaligus sebagai pemimpin dan bawahan yang baik.
Kemudian penentu kesuksesan lainnya diantaranya adalah sistem pengukuran (metrics) untuk melacak kemajuan, benchmarking internal maupun eksternal terhadap produk, layanan, dan proses, serta proses pembelajaran untuk setiap tingkatan dalam organisasi. Agar semuanya dapat berjalan dengan baik tentu harus didukung oleh Six Sigma players. Tentu di negara kita bukanlah hal yang mudah, karena untuk menjadi Six Sigma players dibutuhkan SDM dengan kualifikasinya memadai. Misalnya untuk Green Belts, yang harus ada untuk tiap 20 karyawan, dipersyaratkan memiliki latar belakang teknis dan pendukung serta terbiasa dengan stastistik dasar. Sedangkan untuk Black Belt, yang harus ada di setiap seratus karyawan, dipersyaratkan lima tahun pengalaman dan ahli dalam menggunakan statistik dasar.
Jadi dalam implementasi Six Sigma di Indonesia merupakan tantangan tersendiri. Selain masalah kapabilitas, pola leadership dan budaya perusahaan mesti ikut jadi pertimbangan, yaitu kehadiran pola leadership yang memberi peluang pemberdayaan kepada lini bawah dan adanya budaya perusahaan yang kondusif terhadap timbulnya partisipasi dan inisiatif lini bawah.
Sumber:
www.jakartaconsulting.com