Over the Top Content (OTT) Services

Rate this post

Tahun 2014 Telekomunikasi di Indonesia saat ini memasuki masa jenuh. Sayangnya, kreatifitas dan inovasi dari operator telekomunikasi kita masih sangat lamban dan tertinggal dibandingkan apa yang ditawarkan di luar. Tak heran, beberapa perusahaan sudah mulai kelimpungan dan masuk dalam kondisi red ocean.Akuisisi dan merger dalam beberapa perusahaan telekomunikasi mulai nampak.

Apa penyebab dan mengapa operator bidang telekomunikasi kita seperti kurang berdaya, dan tidak seinovatif perusahaan lain. Ada berbagai faktor, namun faktor yang cukup krusial adalah layanan lain yang lebih inovatif. Salah satunya adalah Over-the Top-Content. Model layanan ini semakin menggerus pendapatan operator telekomunikasi dan berpeluang ‘membunuh’ satu demi satu jasa telekomunikasi yang ditawarkan.

Seperti apa Over-the Top- Content dan bagaimana model bisnisnya? simak sebagai berikut.

OTT (Over the Top Content) didefinisikan sebagai layanan disampaikan melalui jaringan, infrastruktur milik operator, tetapi tidak secara langsung melibatkan operator. Kata lainnya, adalah layanan yang ‘menumpang’ jasa operator tapi tidak mengikutsertakan operator.  Layanan bisa berupa video, audio, voice, telecommunication, news, conference, data center,cloud services, networking services,games , mobile messaging dan lainnya. Beberapa provider terkenal OTC antara lain : Google, Yahoo, Facebook, Twitter, iTunes, WeChat dan berbagai turunannya.

Mengapa OTT  bisa menjadi ancaman terberat bagi Operator? tentu saja sangat jelas. Keberadaan mereka mendorong lalu lintas data makin ke puncak serta membuat para peselancar dunia maya makin mengkonsumsi banyak data, bandwidth maupun konten.  OTT sama sekali tidak bertanggungjawab terhadap kemampuan bandwidth, hak cipta /copyrights maupun redistribusi konten. Sebaliknya mereka bisa mengiklankan atau memperoleh pendapatan berdasarkan iklan atau sisipan iklan terhadap layanan mereka. Inilah yang menyebabkan ketimpangan pendatan antara OTT dan Operator Telekomunikasi.

Selain itu, operator dituntut meningkatkan kapasitas infrastruktur jaringan, bandwith, uptime, maupun availability networknya. Di lain pihak mereka juga harus bersaing dengan operator lain. Layanan  gratis mobile messaging adalah kasus sederhana, bagaimana konsumen akan semakin sedikit menggunakan sms (short message services) sehingga keuntungan operator semakin tergerus. Pendapatan yang diperoleh OTT pada akhirnya akan memicu perdebatan mengenai  model bisnis, regulasi, teknologi, kepemilikan, maupun aspek hukum antara konsumen, pemerintah, OTT dan Operator.

Disinilah para operator perlu memasuki layanan bisnis baru, mengembangkan content delivery yang lebih atraktif serta layanan yang memikat. Kerja sama atau membangun sendiri OTT perlu dipikirkan, agar mereka tidak hanya jadi menyediakan ‘tumpangan’ bagi OTT yang sudah eksis, tapi justru memberikan jasa OTT yang lebih menarik dibandingkan yang sudah ada. Perkembangan bisnis OTT saat ini memang menggiurkan.  Menurut ABI Research, OTT khusus video memiliki pangsa pasar 8 Milyar USD  (sekitar 100 trilyun rupiah) di tahun 2012, dan diperkirakan akan tumbuh mencapai 20 Milyar USD di tahun 2016 atau sekitar 220 trilyun rupiah.

Nah..apakah Operator telekomunikasi kita masih berdiam diri, atau segera bergerak lebih cepat dari trend yang ada?

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Ilmu SDM

Spread the love
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Need Help?