Entah, sudah berapa kali dalam seminggu mendapat telepon dari berbagai lembaga. Terutama jasa keuangan, berupa tawaran kredit tanpa agunan, kartu kredit, tawaran investasi, asuransi maupun lainnya. Sayangnya memang tidak berminat mengenai tersebut karena tidak tertarik dan lagipula beberapa sudah dimiliki. Namun, melihat kegigihan penawaran tersebut, melalui telemarketing officer, penulis menjadi kagum dan memang semangat untuk ‘menjual’ harus terjaga.
Ajakan menabung dengan menyisihkan sebagian pendapatan memang baik, tapi jika menabung melalui lembaga keuangan apakah memang memberikan kesejahteraan?. Ingat yang disimpan adalah uang kertas, dan juga tabungan saat ini hanya memberikan ‘bunga’ sekitar 1-2%, jauh lebih rendah daripada inflasi tahunan yang mencapai 8-9%. Artinya memang kita berada dalam perangkap ‘uang kertas’ yang semakin menggerus pendapatan kita, ditambah dengan ketidakberdayaan pemerintah mempertahankan nilai uang melalui inflasi.
Karena itu, kita perlu lebih cerdik mensiasati hal tersebut. Bagaimana caranya? Tidak perlu jauh-jauh. Allah sudah memberikan petunjuk melalui utusanNya, berdasarkan hadits ini.
“Ketika seorang laki-laki berada di sebuah tanah lapang yang sunyi, dia mendengar sebuah suara di angkasa, “Berilah air pada kebun si Fulan!” Awan itu pun bergerak lalu mencurahkan airnya di satu bidang tanah yang berbatu hitam. Ternyata saluran air dari beberapa buah jalan air yang ada telah menampung air tersebut seluruhnya. Dia pun mengikuti air itu. Ternyata dia sampai kepada seorang pria yang berdiri di kebunnya sedang mengubah aliran air dengan cangkulnya.
Laki-laki tadi berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, siapa namamu?”
Petani itu menjawab, “Nama saya Fulan.” Dia menyebutkan nama yang tadi didengar oleh lelaki pertama dari angkasa.
Si petani bertanya kepadanya, “Wahai hamba Allah, mengapa Anda menanyakan nama saya?”
Kata lelaki itu, “Sebetulnya, saya tadi mendengar sebuah suara di awan yang airnya baru saja turun dan mengatakan, ‘Berilah air pada kebun si Fulan!’ menyebut nama Anda. Apakah yang Anda perbuat dengan kebun ini?”
Petani itu berkata, “Baiklah, kalau Anda mengatakan demikian. Sebetulnya, saya selalu memerhatikan apa yang keluar dari kebun ini, lalu saya menyedekahkan sepertiganya, sepertiga berikutnya saya makan bersama keluarga saya, dan sepertiga lagi saya kembalikan (untuk modal cocok tanam)….”
(HR Muslim (8/222, 223)
Perhatikan petunjuk yang diberikan melalui utusan Nya. Bahwa untuk menggapai kesejahteraan dan mendapat berkah serta karunia dari Allah melalui pemberian rezekinya, maka manusia hendaknya melakukan hal :
- Sedekahkan dari apa yang dihasilkan. Tertulis bahwa porsi ideal adalah sepertiga dari pendapatan. Contoh diatas merupakan dari hasil kebunnya. Misalkan sebuah kebun 1 ton jagung, maka sekitar 333 kg nya disedekahkan.
- Sepertiganya lagi adalah digunakan untuk keluarganya. Artinya digunakan sendiri baik berupa barang jadi atau dijual lagi untuk keperluan rumah tangga.
- Nah sepertiga terakhir adalah untuk ditanamkan kembali. Ini bisa berupa : investasi modal kerja, penelitian, menggarap peluang bisnis lain, belajar atau mengambil pelatihan untuk meningkatkan kemampuan/kompetensi maupun hal lainnya.
Ternyata memang, sedekah itu tidaklah menambah miskin, justru akan menambah rezeki kita. Mustahil apa yang disampaikan Allah melalui rasul Nya itu dusta, karena sudah jelas adalah petunjuk untuk umatnya. Dilain pihak, petunjuk diatas mengedepankan juga pentingnya berinvestasi kembali entah dalam bentuk investasi nyata (menambah modal, menggarap peluang baru) atau investasi intangible (belajar, kuliah, ikut pelatihan, meningkatkan kompetensi dll).
Jadi, rumus menabung membuat sejahtera itu sudah ‘out date’. Yang benar adalah investasi + sedekah = sejahtera.
Sumber : http://ilmusdm.wordpress.com/2014/07/17/menabung-vs-investasi-mana-yang-menyejahterakan/#more-1287