Sebelum kita terjun lebih jauh tentang persamaan/perbedaan Document Management dan Cotent Management, marilah kita “bernostalgia” terlebih dahlu tentang apa yang disebut dengan dokumen. Kita ketahui bersama bahwa menurut definisi ISO 9000, dokumen adalah “informasi yang tersimpan dalam suatu media”. Dikatakan dalam standar tersebut bahwa media dapat berupa media hardcopy maupun softocopy. Berdasarkan definisi ini, suatu informasi tersimpan dalam kertas adalah dokumen. Suatu informasi tersimpan di dalam USB flash disk adalah dokumen. Suatu informasi tersimpan dalam smartphone adalah dokumen. Namun benarkah demikian?
Bagi para management representative atau document controller Sistem Manajemen Mutu yang “oldskull” yang pasti sudah sangat familiar dengan apa yang namanya mekanisme pengendalian dokumen. Pertama-tama, dokumen seringkali digambarkan dalam suatu piramida dokumen yang terdiri atas pedoman, prosedur, instruksi kerja dan rekaman (record). Kemudian juga seringkali kita jumpai satu-satunya cara mendokumentasikan proses adalah dalam dokumen yang berbentuk prosedur dan instruksi kerja. Kita juga mengenal dengan adanya “salinan terkendali” (controlled copy) yang pada hakekatnya seperti kita melegalisir ijazah atau akte kelahiran (salinan dokumen diberi cap “controlled copy”) dan distribusinya dituliskan dalam “daftar distribusi dokumen”. Kita lihat sedemikian rumitnya proses untuk menginformasikan kepada segenap karyawan tentang hal-hal sederhana, seperti contohnya “ini nih aturan baru tentang perencanaan produksi” atau “ini lho proses bagaimana mengajukan cuti” dan lain sebagainya.
Dokumen lahir pada saat terjadinya era industrialisasi dengan tujuan agar suatu informasi dapat tersampaikan secara utuh dan formal kepada para pihak yang berkepentingan. Namun untuk menjaga keutuhan dan formalitasnya, seringkali dokumen menjadi cukup rumit (contoh: format harus baku, struktur harus baku, dan sebagainya). Namun kerumitan dokumentasi dalam beberapa keadaan sudah dapat dikatakan tidak relevan dengan perkembangan jaman saat ini, terlebih dalam 5 tahun terakhir di mana komputer sudah relatif berpindah ke smartphone untuk masalah koordinasi kegiatan. Bahkan seringkali kita melihat bahwa perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor jasa yang didirikan pada tahun 2010-an sampai dengan saat ini, seringkali hanya memiliki kantor fisik yang relatif kecil dan koordinasi dilakukan menggunakan instant messenger (seperti BBM atau Whatsapp) dan e-mail. Para pegawai dapat mengakses informasi dari mana saja. Contoh yang paling updated adalah fenomena Ojeg Online dan Taxi Online. Mungkin satu-satunya dokumen yang ada pada bisnis itu adalah kontrak antara penyedia layanan dengan para driver. Kita lihat pada kegiatan sehari-harinya tidak ada satupun laporan dalam bentuk dokumen yang harus disusun oleh para driver. Semua informasi yang dihasilkan pada hari itu, otomatis terekam pada sistem. Pada kondisi ini tentunya cara pengelolaan informasi dengan pendekatan “dokumen” akan cukup merepotkan.
Contoh lain fokus kepada informasi adalah bagaimana portal berita menggantikan koran. Kalau kita perhatikan, portal berita bisa menyampaikan informasi kepada pelanggannya melaui komputer, smartphone bahkan dibacakan kembali oleh penyiar radio. Penyusunan berita pada suatu portal berita juga tidak lagi harus dengan mengetiknya dalam word processing document terlebih dahulu, tapi bisa langsung di portal tersebut melalui komputer atau smartphone. Dengan kata lain, selamat datang di rejim informasi dan selamat tinggal rejim dokumen. Benarkah?
Contoh lain lagi terkait fokus kepada informasi adalah dahulu (kurang lebih 10 tahun lalu), slip bukti transfer bank harus disimpan sebagai bukti yang sah bahwa seseorang telah melakukan transfer kepada rekening tertentu. Namun sekarang di era e-banking (atau bahkan m-banking), bukti transaksi yang dikirim oleh penyedia m-banking via SMS sudah dianggap sah. Yang penting di sini adalah nomor transaksinya.
Namun kita harus sadari bahwa rejim informasi ini seringkali membuat orang bingung karena seringkali “kebablasan” sehingga informasi tidak terkendali. Contohnya, jika suatu aturan/proses baru hanya disampaikan via Whatsapp Group, maka para pada beberapa saat mendatang para pegawai akan kebingungan untuk mencarinya kembali. Selain itu, bisa saja orang yang tidak berwenang memberikan ketentuan baru via Whatsapp Group, dan hal itu diikuti. Dengan kata lain, unmanaged information dapat menyebabkan kebingunan dan kesalahan dalam koordinasi.
Nah kita lihat bahwa fokus kepada dokumen menghambat pekerjaan, terlalu fokus kepada informasi juga bisa menyebabkan kesalahan koordinasi yang fatal. Walaupun kita dapat saja melupakan dokumen, namun hendaknya informasi-informasi yang diperlukan di dalam perusahaan harus definisikan, mana yang memang informasi untuk bisnis (atau dapat kita sebut sebagai informasi formal) dan mana yang sebetulnya hanya noise atau junk saja. Kemudian kita harus tentukan juga setiap informasi formal tersebut, media apa yang digunakan untuk mengolah, menyimpan dan mentransmisikannya. Dengan kata lain, kita harus mendefinisikan konten-nya.
Dari gambaran di atas dapat kita simpulkan nomor transaksi yang dikirim oleh suatu bank yang menyelenggarakan m-banking adalah konten. Berita pada suatu portal berita adalah konten. Tagihan air yang muncul pada aplikasi e-banking kita adalah konten. Order kita pada aplikasi ojeg online adalah konten. Dan seterusnya…. Pada perusahaan-perusahaan modern, seringkali konten ini disimpan dan ditransmisikan menggunakan suatu aplikasi berbasis teknologi informasi yang disebut content management system (CMS). Dengan CMS, kita bisa memoderasikan informasi-informasi yang dianggap penting (yaitu konten) sehingga tersimpan dengan secara terstruktur dan dapat tersampaikan secara terstruktur pula.
ISO 9001:2015 yang merupakan standar terbaru dari ISO juga telah meninggalkan dokumen, digantikan dengan documented information, dan menurut penulis documented information ini sejatinya adalah konten. Kita lihat sendiri definisi “dokumen” dalam ISO 9000 terdahulu sebagai “informasi yang tersimpan di dalam suatu media” rupanya sudah tidak relevan dan organisasi modern hendaknya dapat lebih fokus kepada konten daripada dokumen.
Selamat datang era konten tentunya dengan content management-nya!
Ditulis Oleh:
IR. Roni Sutrisno, CLA27001, CLA2000
Co-Founder Proxsis Consulting Group