Seorang Filsuf Cina terkenal, Sun Tzu mengatakan, bahwa pemenang perang bukanlah karena banyaknya jumlah pasukan yang dimiliki, bukan juga karena banyaknya logistik atau harta, termasuk juga kelengkapan senjata yang dimiliki. Karena jika hanya berdasarkan jumlah pasukan, emas/harta atau juga jumlah senjata, maka dengan mudah kita bisa menentukan siapa menjadi pemenang perang. Artinya, yang pasukannya lebih banyak belum tentu aman, dan pihak dengan senjata kurang belum tentu kalah. Kemenangan perang lebih ditentukan dengan cara atau ilmu mereka dalam berperang.That’s all.
Inilah ‘cara’ atau ‘the way’ yang sering diabaikan dalam menjalankan bisnis. Kita terpaku pada aspek pemenuhan atau compliance semata dalam bisnis. Jika diibaratkan bisnis adalah perang, maka pemenuhan aspek jumlah tenaga kerja, jumlah pabrik, ikut serta standar ISO/OHSAS/HACPP, kelengkapan peralatan mesin, pemenuhan asset infrastruktur menjadi fokus utama, daripada cara bagaimana agar perusahaan tetap unggul dibandingkan pesaing yang ada. Ibarat saat berperang, kita hanya mementingkan jumlah pasukan dan jumlah senjata yang dimiliki, bukan strategi, cara atau taktik berperang. Bukannya aspek complianceatau pemenuhan kesesuaian asset fisik itu tidak penting, tapi prioritas terhadap cara atau ‘the way’ harus menjadi fokus inti bagaimana menjalankan operasional bisnis perusahaan.
Ambil contoh dalam suatu proses Audit Mutu. Seringkali proses audit dijalankan hanya untuk memenuhi kesesuaian pasal, aturan, standar suatu sistem yang ada. Hasil audit lebih mengupayakan temuan/findings terhadap ketidaklengkapan suatu proses atau sistem yang menjadi tolok ukur. Bukan terhadap inefisiensi, atau perbaikan proses yang mengarah kepada produktifitas. Mesti dipahami bahwa pasal ISO bersifat kesesuaian bukan efektifitas/efisiensi atau kinerja. Pasal ISO tidak berisi “How To”, tetapi baru ketentuan, misal pasal ISO 9001 6.2.2 ( c ) bahwa Organisasi harus melakukan evaluasi efektifitas dari training. Entah bagaimana pelaksanaannya, metode, alat atau caranya, semua diserahkan ke perusahaan.
Maka sebenarnya perusahaan tidak perlu melakukan audit asal ada temuan/finding, entah itu major atau minor. Temuan audit, harusnya dikonversi ke fungsi lain yang memberikan dampak positif bagi perusahaan, seperti pengurangan biaya atau cost berlebihan. Seringkali audit internal di mata manajemen atau karyawan hanya menjadi beban, karena :
- Waktu terbuang untuk mengurusi audit.
- Temuan/findings hanya melihat karena ketidaklengkapan proses sesuai SOP atau ada satu/dua terlewat tapi tidak siginifikan.
- Laporan ke manajemen hanya berupa jumlah temuan. Seolah-olah jumlah temuan adalah KPI bagi persyaratan pemenuhan ISO.
Apa yang tertulis diatas, sama sekali tidak esensial dan tidak menyentuh pokok permasalahan. Misalkan ada temuan bahwa hasil evaluasi pelatihan tidak lengkap, seharusnya rekomendasi adalah perbaikan kepada evaluasi pelatihan pada perubahan tingkat kinerja, sebelum dan sesudah training, misal waktu kerja yang lebih efisien, produksi lebih tinggi dan seterusnya.
Karena itu, mindset untuk Audit harus diubah. Bukan lagi mengecek pemenuhan dokumen yang kadang-kadang tidak lengkap 1-2 buah saja, tapi tidak esensial. Mari kita lihat, jika hasil audit adalah seperti dibawah :
- Hasil Audit mengarah kepada pengurangan biaya konsumsi listrik di pabrik
- Hasil Audit membantu mengurangi sampah produksi dengan memberdayakan sisa pembuangan sebagai heat exchanger.
- Hasil Audit mengarah dan memberikan perbaikan “lay out” tempat kerja
- Hasil Audit menunjukkan penurunan rata-rata waktu pemenuhan karyawan
- Hasil Audit mengarahkan tingkat kepuasan internal user dalam hal karyawan yang direkrut
Beda bukan, antara compliance / kesesuaian dengan kebutuhan bisnis/produktifitas perusahaan? Jadi lupakan saja jika masih berkutat terhadap pemenuhan atau compliance, maka audit anda akan tertinggal dan tidak bermakna apa-apa. Tidak ada dampak signifikan bagi perusahaan jika fokus anda terhadap Audit masih berupa pemenuhan kesesuaian semata.