Peringkat Indonesia lebih rendah ketimbang negara-negara tetangga seperti Timor Leste yang berada di posisi 113, Filipina 105, Thailand 88, Malaysia 54, dan Singapura di peringkat 5. Persepsi korupsi Indonesia yang tidak menggembirakan tersebut diperkuat data Governance Indicators yang dikeluarkan Bank Dunia.
Dari 6 indikator, Indonesia hanya mampu meraih nilai baik (di atas 50, dengan maksimal 100) di satu indikator, yakni voice and accountability. Sedangkan di lima indikator lainnya, nilai yang diraih Indonesia rata-rata hanya 34.
Dalam jangka panjang, kondisi itu tentu dapat menghambat upaya dan cita-cita bersama untuk menyejahterakan bangsa. Penerapan good governance (tata kelola yang baik) di institusi publik, institusi komersial, maupun masyarakat secara luas, diyakini sebagai prasyarat untuk mencapai cita-cita bangsa. Itu sebabnya prinsip-prinsip tata kelola yang baik harus dijalankan secara luas oleh semua pihak di negeri ini.
Berlandaskan dengan keyakinan itu pula, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengadakan seminar internasional good governance. Pada Risk Governance Summit 2014 yang berlangsung esok tersebut, dihadirkan para pembicara yang selama ini dikenal sebagai pelopor, penggiat, dan praktisi good governance yang berasal dari berbagai kalangan.
Rudi Maulana,CPP,MM selaku Founder Proxsis Consulting Group, yang turut hadir dalam seminar yang diadakan pada selasa (18-11-2014) tersebut, telah menerapkan rahasia yang di ungkap 2 perusahaan besar pada sesi terakhir seminar ini.
Menghadirkan orang nomor satu di dua perusahaan besar, yang menceritakan kisah suksesnya menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Pertama Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Budi Gunadi Sadikin. Dia menekankan pentingnya sikap kepemimpinan yang baik dalam tata kelola perusahaan, atau Good Corporate Governance (GCG).
Budi mengatakan, tata kelola perusahaan yang baik sangat tergantung pada mental individu yang terlibat, atau bekerja dalam perusahaan itu sendiri.
“Good corporate governance itu bukan bicara aturan, tapi bicara hati, bicara mental,” ujar Budi dalam acara yang dilakukan di Hotel Darmawangsa, Jakarta.
Bila sudah bicara mental, sambung dia, maka langkah yang harus dilakukan adalah memberi contoh. “Membangun budaya itu urusan hati bukan urusan akal. Jadi culture (budaya) itu harus dicontohkan, dan dilakukan sehari-hari,” sambungnya.
Karena itu, kata Budi, peran pemimpin sangatlah penting. Karena, menurutnya mental bawahan yang baik sangat tergantung dengan bagaimana para pimpinannya memberikan teladan yang baik.
Budi mengumpamakan membentuk budaya seperti mengajarkan seorang anak bermain sepeda.
“Tidak ada seminar yang bisa menjelaskan ‘Cara Terbaik Naik Sepeda’. Harus dicontohkan. Sama dengan mengajarkan good corporate governance di perusahaan. Tergantung pada pemimpinnya, harus ada yang memberi contoh. Pemimpin itu berperan penting untuk membentuk budaya,” tegas Budi.
Di tempat yang sama, CEO Group AirAsia, Tony Fernandez juga mengutarakan hal senada. Menurutnya, seorang pemimpin harus bisa memberi contoh dengan menerapkan tata kelola yang baik itu pada dirinya sendiri.
Kepada peserta seminar Tony mengatakan, contoh yang telah ia berikan kepada para karyawannya adalah sikap pantang menyerah.
“Saya tidak peduli tentang kegagalan. Karena saya tidak ingin menghabiskan masa tua saya tanpa melakukan apa-apa, lalu mengatakan, kenapa saya tidak mencoba?” tutur dia dalam seminar tersebut.
Prinsip itu yang ia tularkan kepada segenap karyawannya. Ia pun selalu menekankan prinsip untuk tidak ragu melakukan kesalahan. Yang penting, lanjut dia, kesalahan itu bukanlah kesalahan yang disengaja. “Tidak apa-apa anda salah. Setidaknya anda sudah mencoba,” pungkas Tony