Kementerian Pertanian (Kementan) terus menggenjot produk kakao. Tahun lalu, produksi secara nasional hanya mencapai kisaran 800 ribu ton. Jumlah tersebut kini ditargetkan meningkat hingga 1,1 juta ton melalui program gerakan nasional peningkatan produksi dan mutu kakao (gernas kakao).
Gernas kakao telah dilaksanakan mulai 2009-2011 dengan kucuran anggaran sekitar Rp3 triliun serta, cakupan areal 400 ribu hektare atau 27 persen dari luas perkebunan kakao 1,6 juta ha sekarang. “Dengan pelaksanaan gernas kakao ini produksi kakao nasional didorong menjadi nomor dua di dunia dengan target sebesar 1,1 juta ton,” kata Dirjen Perkebunan Kementan Gamal Nasir kemarin di Surabaya.
Menurut dia, hasil produksi kakao yang diikutkan dalam program gernas kakao baru akan terlihat setelah empat tahun dari pelaksanannya. Saat ini, tanamannya sudah mulai berbuah. Gamal menyebut, berdasarkan hasil pemantauan tim independen dari kalangan perguruan tinggi program tersebut cukup berhasil. Itu terlihat dengan potensi peningkatan produksi luar biasa. “Tim independen merekomendasikan program perlu dilanjutkan tahun ini, apalagi dampaknya terhadap industri hilir kakao ikut berkembang,” ujarnya.
Untuk itu, pihaknya juga akan melakukan pembinaan petani ke daerah-daerah dengan alokasi anggaran sekitar Rp 200 miliar. “Tak hanya untuk komoditas kakao. Saat ini, setiap dewan komoditas juga meminta dilakukan program gernas terhadap komoditas perkebunan yang mereka bina,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Kakao Indonesia, Zulhefi Sikumbang mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir Indonesia berusaha meningkatkan produksi kakao. Penyebabnya, sebagai pohon sudah memasuki usia uzur yang rawan diserang penyakit. Panen kakao utama di Indonesia biasanya dimulai April dan sampai puncak bulan Juli dan Agustus.
Dia pun mengakui kualitas kakao Indonesia masih cukup rendah. Alasannya proses pengawasan mutu yang kurang, sehingga daya saing produk biji kakao Indonesia kalah dengan negara-negara Afrika seperti Pantai Gading dan Ghana.
Rendahnya kualitas kakao, biji kakao Indonesia di pasar internasional selama ini mendapat pemotongan harga. Akibatnya negara mengalami kerugian devisa dengan harga jual yang rendah. “Diperkirakannya sekitar USD 150 juta per tahun kerugian karena kualitas yang rendah. Karena itu, kakao harus ditingkatkan secara masal agar memperbaiki harga,” ucapnya
Sumber: jambiekspres.co.id