PQ News – Telah Memiliki SVLK, Kayu Indonesia Tak Perlu Sertifikat FSC

PQ News
Rate this post

Produk berbasis kayu Indonesia tidak memerlukan sertifikat dari lembaga Forest Stewardship Council (FSC) untuk bisa mengakses pasar dan diperdagangkan secara internasional.

Sekjen Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto, di Jakarta, Senin  (19/8/2013), mengatakan, produk kayu Indonesia telah memiliki sertifikat berbasis Sistem Verfikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang memiliki standar lebih tinggi dari FSC.

“Kalau sudah memiliki SVLK, sebenarnya tidak perlu lagi sertifikat seperti FSC,” ujarnya kepada wartawan, seusai membuka Rapat Koordinasi Pengelolaan Barang Milik Negara di Gedung Kementerian Kehutanan, Jakarta, Senin (19/8/2013).

Hadi menegaskan, SVLK memiliki standar yang lebih tinggi, sebab diterapkan secara wajib bagi seluruh produk kayu dari hulu hingga hilir, berbeda dengan skema sertifikasi seperti FSC yang bersifat sukarela.

“SVLK lebih galak, sebab kalau tidak punya sertifikat itu, tidak bisa diekspor,” tegasnya.

Menurut dia, sertifikat FSC sejauh ini juga belum berhasil memberi harga premium bagi produk berbasis kayu di Indonesia. Hal ini terlihat dari pengalaman sejumlah perusahaan produsen kayu di tanah Air.

FSC, jelas Hadi, memang menjanjikan soal akses pasar, namun hal itu juga bisa dilakukan dengan sertifikat SVLK. Apalagi nantinya setelah perjanjian kemitraan sukarela antara Indonesia-Uni Eropa ditandatangani pada September 2013 mendatang, akses pasar produk kayu ber-SVLK akan lebih luas di sana.

Hadi menegaskan, akuntabilitas dan transparansi SVLK tidak perlu dipertanyakan lagi, karena sejak awal dibangun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pelaku usaha, pemerintah, akademisi, anggota masyarakat dan organisasi masyarakat sipil.

“Keterlibatan seluruh pemangku kepentingan ini bahkan berlanjut hingga saat ini ketika SVLK sudah diberlakukan secara efektif. SVLK adalah satu-satunya skema sertifikasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan,” katanya.

Ia menambahkan, untuk meningkatkan transparansi, semua pihak juga bisa memantau pelaksanaaan SVLK dan bisa menyampaikan tanggapan dan keluhan melalui mekanisme yang disiapkan.

“LSM yang memantau pelaksanaan SVLK bahkan diberi ruang resmi lewat Jaringan Pemantau Independen Kehutanan,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua bidang Hutan Tanaman Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Nana Suparna, menambahkan, skema yang dikembangkan FSC sebenarnya tidak adil bagi Indonesia, khususnya untuk produk kayu dari hutan tanaman. Pasalnya, lembaga itu mensyaratkan kawasan hutan tanaman tidak boleh dibangun setelah tahun 1994.

“Di Indonesia, hal ini tentu tidak bisa diterapkan, karena banyak hutan tanaman justru baru dibuka setelah tahun 1994,” terangnya.

Sayangnya, menurut dia, karena belum memperoleh sertifikat FSC, produk kayu hutan tanaman Indonesia kemudian dicap tidak lestari oleh kalangan LSM, terutama LSM asing. Padahal, soal kelestarian pengelolaan hutan, Indonesia telah menerapkan skema sertifikasi SVLK secara wajib.

“Kalau produk kayu Indonesia yang telah memperoleh sertifikat SVLK, kemudian dikampanyekan sebagai produk yang tidak lestari, sama saja LSM itu tidak menghormati kedaulatan Indonesia,” tegas Nana.

 

Source : http://rri.co.id

Spread the love
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Need Help?