Masyarakat adat di Indonesia, dengan kearifan lokal, menjaga alam dan hutan sebagai tempat mereka mengggantungkan hidup. Perjuangan menjaga alam makin berat kala banyak izin diberikan kepada pemodal yang menyulap hutan menjadi kebun baik sawit, kebun kayu sampai tambang.
Demikian dikatakan Ridzki R Sigit, Manajer Program Mongabay-Indonesia, dalam acara Inter-Country/Region Skill Sharing Wxchange Programe, oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di Medan, Sumatera Utara, Kamis lalu. Acara ini, diikuti lima negara perwakilan organisasi dan komunitas adat di bawah program Indogenus Voice In Asia. Ada dari Nepal, Kamboja, Filiphina, Indonesia, dan Thailand.
Selama ini, kata Sigit, masyarakat adat dianggap hidup tertinggal dan jauh dari hiruk pikuk kota. Masyarakat adat dianggap ekonomi rendah dan terbelakang ilmu pengetahuan. Padahal, masyarakat adat memiliki kekuatan tinggi menghormati alam dan lingkungan sekitar. Sikap ini jarang dimiliki masyarakat perkotaan.
banyak meliput isu-isu masyarakat adat yang menjaga alam dengan kearifan lokal ini. “Masyarakat urban seharusnya belajar dari masyarakat adat, soal bagaimana mereka mempertahankan dan melestarikan alam.”
Dia mencontohkan, di Bukit Lawang, Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumut, kala diterpa banjir bandang menyebabkan korban jiwa. Pengalaman banjir ini menjadi pelajaran bagi masyarakat adat. Mereka berusaha mempertahankan sungai agar tidak rusak.
Contoh lain, soal masyarakat Dayak Wehea di Kalimantan, yang mempertahankan peninggalan leluhur. Mongabay-Indonesia memberitakan dan mendapat tanggapan serta komentar positif dari berbagai media nasional. Bahkan mereka mengirimkan tim untuk membuat film atau liputan dokumenter soal kebudayaan masyarakat adat di sana.
“Masyarakat adat mencintai kehidupan yang bersahabat dengan alam dan lingkungan. Mereka memilih menjaga adat dan lingkungan untuk keberlangsungan mendatang, ketimbang merusak demi pundi-pundi uang.”
Ungkapan senada dari Mona Sihombing, media relation AMAN. Mona mengatakan, masyarakat adat lebih mempertahankan apa yang leluhur turunkan dan wariskan. “Ini bukan kepemilikan individu, harus dijaga karena sudah ada tugas dari leluhur mereka.”
Dia mencontohkan, masyarakat adat di Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbas) Sumut. Di sana ratusan petani kemenyan mempertahankan hutan seluas 4.100 hektar. Mereka menolak kehadiran perusahaan kayu, PT Tobal Pulp Lestari (TPL) yang bakal menghilangkan hutan kemenyan dan menjadi ekaliptus.
Menurut dia, ada 2.240 komunitas adat atau 15 juta orang di Indonesia didampingi AMAN. “Masyarakat adat punya ikatan sangat kuat dengan alam. Contoh lain di Kasepuhan Cipta Gelar, di Gunung Halimun, Jawa Barat. Mereka punya ritual tidak boleh membeli beras dan panen hanya satu kali setahun. Agar alam bisa memperbaiki diri sendiri. Mereka tahu jika alam rusak, banyak masalah yang datang. Ini harus dijaga dan dipertahankan.”
Pengakuan pemerinyah atas keberadaan masyarakat adat dan wilayahnya di Indonesia, antara ada dan tiada. Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi menguatkan posisi mereka, dengan keputusan hutan adat bukan bagian dari hutan negara. “Pemerintah harus punya mekanisme nyata soal keputusan ini.”