Jepang saat ini tengah berusaha keras mengubah reputasinya sebagai negara yang tidak hanya terkenal dengan makanan mahal berkualitas tingginya tapi sekaligus juga mengekspornya, untuk membantu mendorong perekonomian negara tersebut.
Untuk mengejar target tersebut, Jepang berupaya melipatgandakan pengiriman produk pertanian, kelautan dan kehutanan dari negaranya pada tahun 2020. Hampir tiga perempat dari pengiriman produk pangan itu mengarah ke Asia – terutama ke Cina dan Korea Selatan.
Namun skandal label makanan terbaru dan berlanjutnya kekhawatiran kontaminasi nuklir setelah bencana Fukushima telah merusak reputasi negara Jepang sebagai pemasok produk makanan yang aman dan berkualitas tinggi.
“Mereka segera menghentikan penjualan apapun yang terkontaminasi dan kondisi itu tidak banyak diliput media di Jepang,” Kata Martin Frid dari Serikat Konsumen Jepang.
“Sejumlah produk makanan laut (Seafood) Jepang bahkan sudah dilarang oleh negara lain seperti Korea Selatan.
“Ini jelas menuai keprihatinan, karena tidak ada yang benar-benar paham dampak lanjutan dari kontaminasi nuklir di lautan.
Meskipun larangan kebanyakan berlaku untuk produk pangan dari wilayah yang terkena dampak kontaminasi, tapi beberapa negara telah benar-benar menangguhkan pembelian mereka dari Jepang.
Impor ikan khususnya telah turun sekitar seperempat sejak terjadinya bencana nuklir di Fukushima pada tahun 2011.
Frid mengatakan pemerintah Jepang perlu lebih transparan dan menjadikan inspeksi makanan lebih serius jika ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas keamanan makanan di Jepang.
“Jika Jepang ingin dilihat sebagai eksportir handal makanan, maka Ia harus jauh lebih transparan,” katanya.
“Pemerintah harus lebih cepat merespon kekhawatiran ini. Mereka harus menempatkan lebih banyak penyelidik, lebih banyak orang untuk menangani isu ini segera.”
Skandal label makanan
Keluarga Wakako Takasaka mengimpor dan menyalurkan makanan Jepang di Australia selama lebih dari 30 tahun.
Dia mengatakan bisnis penjualan makanan Jepang milik keluarganya di Melbourne ikut terdampak oleh pengetatan pembatasan impor sejak bencana Fukushima tahun 2011.
“Begitu gempa bumi terjadi di Fukushima langsung diberlakukan pembatasan bahan makanan yang dipasok dari Jepang,” katanya.
“Dan sampai sekarang aturan itu masih berlaku, aturan itu mewajibkan semua bahan baku yang dikirin dari kawasan yang terdampak Fukushima harus dites terlebih dahulu di layanan laboratorium pemerintah ketika sampai di perairan Australia.”
Takasaka mengatakan pelanggan konsumen mereka juga sangat khawatir dengan potensi pencemaran dari reactor nuklir Fukushima terhadap produk makanan dari Jepang.
Reputasi Jepang sebagai negara yang memiliki makanan berkualitas tinggi juga semakin parah dirusak oleh skandal label makanan terbaru.
Bulan lalu sejumlah hotel ternama dan restoran di pusat perbelanjaan mengaku mereka secara reguler mengganti produk makanan premium dalam daftar menu mereka dengan produk berkualitas rendah.
Udang putih murah dijual sebagai udang Shiba premium, daging sapi impor disebut-sebut sebagai high-end Wagyu dan jus jeruk dari karton digambarkan sebagai jus jeruk segar perasan.
Terungkapnya skandal ini menurut Martin Frid dari Serikat Konsumen Jepang meninggalkan rasa pahit dimulut masyarakat Jepang.
“Kejadian itu sangat menjengkelkan. Mereka jelas berbohong kepada publik dan itu ilegal.”
Di pasar Australia, Wakako Takasaka percaya permintaan produk makanan ‘Made in Japan’ berkualitas tinggi akan terus berlanjut tapi memenuhi permintaan itu yang dianggapnya tidak mungkin.
“Kita sangat tahu kalau ada banyak permintaan produk Jepang yang berkualitas tinggi, tapi jenis makanan Jepang yang bisa kami impor sangat terbatas,” katanya.
“Di Australia, kita tidak bisa mengimpor semua produk dari Hokkaido. Tapi bagi kami masalahnya adalah pada produk pangan apa saja yang akan dibatasi oleh pemerintah Australia.
Sumber : http://www.radioaustralia.net.au