BOGOR– Geger tiga negara akibat serangan kabut asap memunculkan polemik. Serangan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan skala besar adalah fenomena dan menjadi sebuah kecenderungan yang rutin dalam 20 tahun terakhir. Demikian rilis yang dikeluarkan Sawit Watch pada hari Kamis lalu.
Kebakaran hutan dan lahan tidak dapat dipandang sebagai masalah yang berdiri sendiri. Ia harus dipandang sebagai sebuah simptom dari memburuknya kesehatan hutan alam. Eksploitasi hutan alam dalam skala masif yang dimulai dilakukan pada awal tahun 1970 telah menyebabkan hutan-hutan alam rusak parah. Eksploitasi hutan alam untuk memenuhi industri perkayuan dan perluasan kebun sawit telah memaksa hutan alam hancur berkeping-keping.
Hutan dan lahan telah terdegradasi dan kehilangan keseimbangan ekologis, kehilangan kelembaban mikro sehingga menjadi rentan terhadap kebakaran. Keadaan ini diperparah dengan politik konversi hutan alam. Pemerintah justru memberi insentif kebijakan dan finansial bagi pengusaha-pengusaha membuka perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan kelapa sawit dan kebun kayu komersial dengan Hutan Tanaman Industri (HTI). Insentif seperti dana reboisasi kepada pengusaha HTI telah menyebabkan percepatan konversi hutan alam menjadi perkebunan-perkebunan monokultur dan melegitimasi pengrusakan hutan alam lebih jauh. Pengusaha memanfaatkan legitimasi dari pemerintah untuk mengeruk rejeki kayu secara rakus dengan alasan membangun hutan-hutan tanaman. Di sektor perkebunan sawit, terjadi perluasan secara massif untuk alih fungsi hutan alam menjadi kebun sawit. Menurut data Sawit Watch, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini mencapai 11,5 juta hektar.
Terkait dengan kebakaran hutan, hasil penelusuran Sawit Watch, saat ini ada sekitar 4810 titik api untuk periode lalu hingga sekarang. Dari total titik api tersebut, ada sekitar 925 titik api yang berada di perkebunan sawit.
Kebakaran hutan di Kalimantan Timur menghanguskan lebih dari 3 juta hektar pada tahun 1982, lalu berturut-turut kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1991, 1994 dan pada 1997 yang melahap kawasan hutan dan lahan seluas 10 juta hektar, masing-masing 5 juta ha di Kalimantan dan Sumatera. Sementara Pemerintah mengklaim kebakaran hutan hanya seluas setengah juta hektar.