Beberapa penggemar penyanyi pop Lady Gaga berunjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Minggu (3/6/2012) lalu. Unjuk rasa dilakukan setelah penyanyi asal Amerika Serikat tersebut membatalkan kedatangannya ke Jakrta. Sebelumnya, muncul tekanan dari sekelompok masyarakat dengan ancaman kekerasan agar pertunjukan tidak diizinkan.
Reaksi Gaga membatalkan kunjungannya ke Jakarta dapat dilihat sebagai kegagapan penegak hukum dan pemerintah memastikan benar ada kebebasan berekspresi. Dalam konteks kelas menengah Indonesia, dapat juga dilihat sebagai kegagapan mempertahankan demokrasi substansial yang diandaikan merupakan perhatian kelas menengah.
Dika (24) yang sudah membeli tiket termahal untuk pertunjukan Gaga di Jakarta mengatakan, dia jengkel karena polisi tidak bisa bersikap tegas. Meski begitu, dia mengaku tidak melakukan apa-apa untuk menyatakan keberatannya. ”Apa ada gunanya? Kalau ada gunanya, mungkin saya mau mencoba,” kata dia.
Alih-alih memperjuangkan sungguh-sungguh agar Gaga tetap tampil di Jakarta dan polisi memberi perlindungan, penggemar penyanyi itu memilih terbang ke Singapura ketika ada penambahan hari pertunjukan untuk menampung penggemar dari Indonesia yang kecewa.
Bertambahnya jumlah dan daya beli kelas menengah di Indonesia menurut survei LitbangKompas mewujud dalam bentuk konsumsi pada sesuatu yang bersifat material: ponsel, barang bermerek, mobil, rumah, dan menghabiskan waktu luang di mal. Konsumsi tersebut berhubungan dengan gaya hidup yang membentuk identitas.
Kejadian yang dulu adalah antre ponsel BlackBerry seri Bellagio di mal Pacific Place pada November 2011 yang berakhir dengan dorong-mendorong hingga ada yang jatuh pingsan.
Meskipun suka membeli barang bermerek, tidak berarti kelas menengah bersedia membeli barang-barang mahal tersebut. Redaktur pelaksana sebuah media gaya hidup di Jakarta mengatakan, dalam acara pembukaan butik baru barang kulit merek terkenal asal Perancis beberapa waktu lalu, beberapa pemilik tas bermerek terkenal ternyata menggunakan tas bermerek tetapi palsu. ”Mungkin saja mereka tidak tahu tas yang dibawa palsu karena barangkali diberi oleh teman,” kata dia mencoba memberi alasan perilaku tersebut.
Barang palsu tetapi asli sudah menjadi komoditas umum, dengan mudah bisa didapat di toko-toko dan gerai di mal atau melalui individu-individu. Barang tersebut biasanya ditawarkan dengan sebutan KW1 atau KW2 yang menunjukkan kualitas pengerjaan.
Cara lain menyiasati harga yang mahal, model yang cepat berganti, serta menjaga gengsi agar tidak tampil dua kali dengan barang sama adalah membeli tas dengan berutang atau menyewa. Tujuannya, tampil berbeda saat foto mereka tampil di majalah gaya hidup.
Solvay Gerke (2000) dalam artikelnya, Global Lifestyles under Local Conditions: The New Indonesian Middle Class (Consumption in Asia. Lifestyles and Identities), menggunakan istilah lifestyling. Yang dimaksud, perilaku mencari identitas melalui gaya hidup mengonsumsi benda-benda yang dianggap mewakili kelas tertentu tanpa benar-benar mengonsumsi benda-benda tersebut karena tidak memiliki kemampuan ekonomi.
Dalam surveinya di Yogyakarta dan Padang, Gerke menemukan perilaku tersebut pada kelas menengah yang tidak memiliki kemampuan cukup. Wujudnya, antara lain, anak-anak muda saling bertukar pakai kaus bermerek.
Kembali ke lokal
Meskipun perilaku menaikkan konsumsi seiring kenaikan penghasilan dianggap boros, tetapi negara mendorong konsumsi masyarakat sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.
Pada saat yang sama, globalisasi menyeragamkan selera melalui kehadiran jaringan toko di ratusan kota dunia yang menjual produk merek mode tertentu. Hal tersebut menimbulkan reaksi pada sebagian kelas menengah-atas Jakarta untuk menggunakan produk lokal.
Ketua Cita Tenun Indonesia (CTI) Ny Okke Hatta Rajasa, misalnya, mengatakan, pembinaan perajin tenun lokal bertujuan membangkitkan ekonomi masyarakat di daerah-daerah.
Priyo Octaviano, perancang busana, bekerja bersama penenun di daerah Sidemen dan Nusa Penida, Bali, agar mendapat kain tenun berkualitas dan khas. ”Tenun kita kaya dan memberi nilai tambah pada produk mode kita,” kata Priyo.
Pengakuan UNESCO pada batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia berhasil menjadikan batik sebagai gaya hidup kelas menengah dan menghidupi perajin batik, termasuk Lasem, yang bangkit lagi produksinya sejak pertengahan 2000-an.
Peran perancang busana dan media menjadi penting karena memberi pencitraan tentang identitas yang dapat diraih semua orang melalui gaya hidup. Karena itu, industri pakaian batik tumbuh subur tiga tahun terakhir dengan berbagai segmen kualitas.
Kegandrungan akan konsumsi tersebut dari sisi lingkungan setidaknya memboroskan karbon lebih rendah daripada bila produk tersebut didatangkan dari negeri yang lebih jauh dan menumbuhkan ekonomi lokal. Karena itu, kalaupun pemerintah ingin mendorong konsumsi kelas menengah sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, konsumsi tersebut diarahkan memberi nilai tambah pada ekonomi lokal.
Sumber: pojokbursa.widyatama.ac.id