Indonesia Iron and Steel Asosiation menanti uluran tangan pemerintah untuk mendukung peningkatan kinerja industri baja nasional yang menghadapi tekanan dari kondisi global dan domestik.
Ketua Umum Indonesia Iron and Steel Asosiation (IISIA) Irwan Kamal Hakim mengatakan industri baja nasional menghadapi tekanan dalam meningkatkan daya saing industri. Melemahnya harga minyak dunia dan situasi politik Rusia menambah derita industri baja nasional. Padahal, hingga kini harga baja dunia belum terapresiasi sejak tahun lalu.
Irvan menggambarkan harga baja global pada 2008 senilai US$1.000 per ton terdegradasi hingga 50% saat ini. Maka dari itu, pihaknya menanti uluran tangan pemerintah dalam menindaklanjuti pelemahan industri baja, baik lewat P3DN maupun memberikan insentif. Penyerapan produk nasional dari belanja infrastruktur yang menembus Rp200 triliun pada 2015 akan memberikan stimulus bangkitnya industri baja nasional.
“Harusnya memang pembangunan infrastruktur menyerap hasil produksi industri baja nasional, karena aturan peningkatan penggunaan produk dalam negeri sudah ada,” tuturnya.
Data dari Bereau of Resources and Energy Economics, World Steel menunjukkan kebutuhan baja dunia surplus 21 juta ton dari total produksi sebesar 1,6 miliar ton pada 2013. Sementara itu, China sebagai produsen baja terbesar di dunia dengan total produksi 775 harus menelan pil pahit dengan surplus produksi sebesar 46 juta ton pada tahun yang sama.
“Saya mengusulkan untuk Inpres No 2/2009 dan segala macam peraturan P3DN harap diaktifkan kembali. Kebutuhan dalam negeri tren pertumbuhannya sebesar 11% – 13%, tetapi apakah produk nasional yang terserap,” katanya.
Data IISIA menunjukkan produksi baja nasional sebesar 6 juta ton pada 2014 dari total kapasitas 9 juta ton per tahun. Sementara itu kebutuhan nasional mencapai 13 juta ton per tahun, sehingga 55% kebutuhan baja dipenuhi oleh produk impor.
Sumber : industri.bisnis.com