Produktivitas Pengrajin Kriya Menurun

PQ News
Rate this post

Purwakarta – Hasil produksi para perajin kriya di Kecamatan Plered, menurun hingga 30 persen. Hal tersebut, disebabkan perubahan cuaca dari musim kemarau ke musim penghujan. Dengan kondisi ini, para pengrajin ini tak bisa memroduksi kerajinan berbahan dasar tanah liat seperti biasanya. Sebab, mereka terbentur proses pengeringan.

Jalaludin (36), salah seorang perajin genteng di Desa Citeko, Kecamatan Plered, mengatakan, sejak tiga pekan terakhir dirinya tak lagi memproduksi genteng. Karena, saat ini sudah memasuki musim penghujan. Mengingat, proses produksi kerajinan ini sangat tergantung dengan sinar matahari. Jadi, bila musim hujan tiba, pastinya produksi pengrajin mengalami penurunan yang drastis.

“Kalau cuacanya begini, percuma saja membuat kerajinan. Karena, hasilnya tak bisa kering secara maksimal,” ujar bapak satu anak ini, Kamis (2/1/2013).

Jalaludin mengatakan, biasanya, dalam sehari dirinya mampu memproduksi 200 keping genteng. Tapi, dengan kondisi cuaca seperti sekarang, dia hanya mampu memproduksi 140 keping saja.

Menurutnya, kondisi ini tak hanya melanda para pengrajin genteng, tapi juga keramik. Bahkan kini, ratusan lio genteng yang ada, sangat jarang yang terlihat sedang menjemur genteng. Padahal, saat musim kemarau lio-lio tersebut setiap harinya selalu dipenuhi genteng yang baru saja dicetak.

“Kini, kalaupun ada pengrajin yang mencetak genteng, untuk proses pengeringannya dilakukan di rak-rak yang terbuat dari bambu di dalam lio. Supaya, bila hujan turun, genteng yang masih basah itu tidak rusak oleh air hujan,” cetus dia.

Namun, proses pengeringan dengan cara ini memakan waktu cukup lama. Bahkan, untuk mengeringkan satu keping genteng, dibutuhkan minimalnya empat hari. Tapi, ada juga yang baru bisa kering setelah diangin-angin selama enam hari.

Kondisi ini, sangat jauh berbeda seperti saat musim panas. Perajin bisa menjemur genteng maksimalnya dua hari di musim kemarau. Setelah proses penjemuran selesai, baru tanah liat ini dibakar di api dengan suhu lebih dari 1.000 derajat celcius ini.

Hal senda juga diungkapkan Sukatman (46)salah seorang perajin keramik di Kecamatan Plered. Menurutnya, musim hujan merupakan masa paceklik bagi perajin kriya. Sebab, dengan kondisi itu mereka tak berani membuat kerajinan berbahan dasar tanah liat itu dengan jumlah banyak.

“Karena, pesanan dari pemilik kios keramik juga mengalami penurunan saat musim hujan begini. Jadi, percuma juga kita produksi. Sudah tak laku, proses pengeringannya pun lama,” seloroh dia.

Dia menambahkan, selama musim hujan ini penurunan produksinya sekitar 30 persen. Selain itu, keramik yang dipesan juga sering mengalami kegagalan saat proses pembakaran. Sebab, kadar air dalam tanahnya masih ada. Sehingga, perajin mengalami kerugian yang lumayan.

“Dalam sehari bisa, kita biasa membakar 500 keramik berbagai ukuran. Tapi, tak semuanya bisa diambil. Karena, ada sekitar 20 persen yang lost akibat rusak saat dibakar. Jadi gimana mau untung. Sudah permintaan menurun, kami juga harus kehilangan banyak keramik saat proses pembakaran,” pungkasnya. [rni]

 

sumber: inilahkoran.com

Spread the love
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Need Help?