Pengelolaan SDA di Marowali

Rate this post

Morowali adalah salah satu kabupaten dalam lingkup wilayah administratif propinsi Sulawesi Tengah, yang ditetapkan sebagai wilayah otonom sejak tangggal 12 Oktober 1999 ( Undang-undang No.51 TAHUN 1999), Morowali memiliki total luasan 45.453 km² dengan rincian sekitar 15.490,12 km² adalah luasan daratan dan 29.962,88 km adalah luasan lautan/perairan.
Morowali dikenal dengan kekayaan sumber daya alam, seperti hutan, pesisir dan laut serta mineral bumi (minyak dan gas bumi), nikel, marmer, emas) yang sangat melimpah. Potensi kekayaan tersebut, menjadikan wilayah ini sebagai daerah pertumbuhan ekonomi yang berbasis investasi ekstraksi Sumber Daya Alam. Produktivitas investasi usaha yang sangat menonjol adalah pertambangan dan perkebunan sawit.
Dua sektor usaha investasi ini, secara dominan mempengaruhi mind-set dan visioner pembangunan bagi pemerintah daerah dan masyarakat Morowali, dimana pada satu sisi ada yang berpandangan bahwa investasi akan menjawab problem peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dan membebaskan masyarakat dari bentuk kemiskinan melalui penyerapan lapangan kerja baru, pada sisi lain ada yang berpandangan bahwa investasi menjadi awal dari kemiskinan akibat perubahan struktur dan difresiasi sosial ekonomi masyarakat dalam waktu jangka panjang.
Terlepas dari polemik dua pandangan tersebut, memang harus diakui usaha pertambangan dan perkebunan sawit telah memberi kontribusi secara ekonomi bagi daerah dan juga harus diakui bahwa ada proses penyerapan tenaga kerja yang terjadi dari basis usaha investasi tersebut meskipun nilai signifikansi kontribusi itu tidak dijumpai dalam angka-angka pertumbuhan yang memuaskan secara statistik. Akan tetapi realitas juga menunjukkan bahwa meningkatnya pertumbuhan usaha yang berbasis Sumber Daya Alam, menjadikan daerah ini mengalami perubahan komposisi dalam penguasaan ruang produksi dimana terjadi perubahan luasan kawasan hutan trofis ± 1.576.112 hektar diproyeksi mengalami kondisi penyusutan secara kritis pertahun, dengan kontributor utama adalah usaha pertambangan dan usaha perkebunan sawit. Tidak hanya kawasan hutan yang mengalami kondisi penurunan akan tetapi juga lahan-lahan produktivitas pertanian masyarakat juga beralih fungsi untuk memenuhi kepentingan usaha tersebut melalui beragam mekanisme transaksi, seperti; ganti rugi, jula beli, bagi hasil untuk usaha pertambabngan dan mekanisme kemitraan plasma untuk usaha perkebunan sawit yang sangat monopolistik.
Kehadiran usaha pertambangan dan perkebunan sawit juga, pada perkembangannya menciptakan rangkaian proses pembentukan polarisasi atau srtatifikasi sosial masyarakat. Dalam sejarah masyarakat Morowali bergantung pada supra-struktur sosial ekonomi pada penghidupan sebagai petani sub-sisten secara dominan, dengan mengandalkan basis produksi dengan suatu situasi transisi penguasaan usaha berbasis investasi padat modal yang pada akhirnya menghadapi situasi ketidak berdayaan untuk berhadapan dengan suatu situasi transisi penguasaan usaha berbasis investasi padat modal yang pada akhirnya memutus mata rantai keterikatan moda produksi tanah sebagai akar historis dalam pembentukkan karakter peradaban corak produksi sebagai entitas petani.
Keharusan pemenuhan ketersediaan lahan bagi usaha pertambangan dan perkebunan sawit, pada gilirannya mengkonversi luasan lahan-laghan pertanian masyarakat dan mengakibtakan terjadinya okuvasi pada kelas sosial masyarakat dari petani menjadi pekerja atau buruh. Artinya, terjadi bentuk ketidakberdayaan masyarakat menghadapi sistem kebijakan ekonomi pembangunan daerah, yang mendorong terjadinya proses transformasi kesadaran baru untuk menjadi pekerja dengan harapan mendapatkan upah layak ataupun dengan mendapatkan konvensasi ganti kerugian lahan secara layak, meski harus dipahami bahwa situasi demikian, hanya akan bertahan sesuai dengan lamanya tambang atau perkebunan itu beroperasi.
Menguatnya kesadaran sosial yang demikian, menunjukkan adanya suatu loncatan yang cukup jauh dari gambaran transisi perubahan moda produksi masyarakat kebanyakan yang hidup di desa; suatu transisi soaial dari pertanian sub-sistem bukannya menuju tahapan industri prtanian moderen, akan tetapi beralih pada penciptaan relasi ketergantungan dalam hubungan indutrial pertambangan dan perkebunan, yang tentunya jika bernasib mujur diposisikan sebagai pekerja. Sesungguhnya kondisi rantai hubungan industrial tersebut, pada perkembangannya tidak akan bertahan lama, sebab pengelolaan tambang memiliki batasan waktu masa produksi, dimana pada akhirnya akan mematikan ladang ekonomi bagi para pekerja itu sendiri. Selain itu perkembangannya juga akan senantiasa menimbulkan gejolak perselisihan dalam hubungan industrial terutama berkaitan dengan pemenuhan hak normatif pekerja yaitu upah kerja, jaminan sosial, sistem kontrak kerja, dan pemutusan hubungan kerja, dimana yang paling banyak merasakan adalah pekerja outsourching dan pekerja harian lepas.
Sesungguhnya ini adalah uraian sebagian kecil persoalan dari sekian banyak persolan yang dijumpai di Kabupaten Morowali saat ini dari segi pengelolaan SDA.

 

 

– Refleksi krisis pengelolaan SDA dan lingkugan hidup dalam praktek pembangunan –

Paradigma pembangunan berkelanjutan, secara mendasar memiliki kelemahan dalam praktek dimana pilar kebijakan tata kelola ekonomi pembangunan tidak diletakkan secara bersinergi dengan tata kelola SDA dan lingkungan, sebagai suatu sistem kebijakan pembangunan yang lebih baik. Pandangan para pakar ekonomi yang telah mempraktekkan metode pengukuran produktivitas bruto yang berkelanjutan (Gross Sustainable Producticivity : GSP) yang memperhitungkan beberapa indeks sosial dan parameter tingkat kemakmuran masyrakat, menyimpulkan bahwa semakin banyak jenis Sumber Daya Alam yang di ekstratsi dan praktek pemanfaatannya tidak berkelanjutan maka akan menunjukkan ukuran tentang depresiais cadangan dan kualitas sumber daya alam dimana mempengaruhi, rendahnya valuasi ekonomi produk domestik regional bruto (PDB) dari ukuran penghitungan konvensional pembangunan ekonomi.
Kepentingan pembangunan yang dijalankan tidak dibarengi dengan pengukuran depresiasi terhadap penipisan cadangan sumber daya alam akibat ekstratsi secara berlebihan seperti ; mineral, hutan, begitupun kestabilan kesuburan tanah dan erosi yang terjadi. Dalam relasi konsumsi, masyarakat berpotensi kehilangan sumber-sumber pangan, sumber energy, sumber air dan udara segar yang tersedia yang difasilitasi oleh alam. Seperti bahan baku makanan pokok yang memilki efek domino bagi anak-anak yang terancam kekurangan asupan gizi, dari keterbatasan kebutuhan cadangan pangan lokal dan keterbatasan cadangan sumber-sumber air. Sebab jika tidak, maka lagi-lagi pembangunan yang diciptakan justru semakin sporadik dan pada akhirnya menciptakan krisis cadangan sumber daya alam dan mewariskan bencana bagi rakyat dan kemiskinan bagi kelangsunagn hidup generasi. Studi Stern tahun 2006 melaporkan bahwa pendapatan domestik bruto (PDB) global dapat turun sampai 1% akibat dampak perubahan yang ekstrim. Hal buruk yang dapat terjadi adalah pendapatan perkapita dapat turun hingga 20%. Terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran barang dan jasa, yang pada gilirannya membawa dampak terhadap perekonomian global, pada kondisinya kedepan bisa jadi mempengaruhi perekonomian suatu negara atau suatu daerah bahkan rumah tangga.
Upaya kuantifikasi degradasi sumber daya alam dan kajian lingkungan hidup strategis belum menjadi pengarus utamaan sebagai bahan analisis dalam menjawab beragam skema kepentingan pembangunan. Sebab pada kenyatannya, pembangunan dengan mengandalkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada produktivitas ekonomi hasil ekstratsi sumber daya alam, pada perkembangannya tidak akan bertahan lama. Sebagai contoh, hasil ekstratsi mineral dari pertambangan. Jenis komoditi ini tidak dapat diperbaharui, dimana surplus neraca pendapatan yang dihasilkan dari perdagangan bahan tambangnya, hanya habis untuk memperbaiki mutu dan atau merevitalisasi kondisi lingkungan hidup yang dihancurkan. Pembelajaran kritisnya adalah temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, yang menunjukan kerugian yang diderita akibat banjir diberbagi wilayah ditanah air ditaksir bisa mencapai sekitar Rp 20,27 triliun pertahun. atau setara dengan 2,94 persen APBN, belum termasuk bencana alam lainnya. Selain itu, Indonesia Corruption Watch juga pernah melansir bahwa kerugian yang diderita negara akibat laju deforestasi hutan di Indonesia pada periode 2005-2009 mencapai 5,4 juta hektare atau setara dengan Rp 71,28 triliun. Jumlah tersebut, terdiri atas kerugian nilai tegakan (64,8 triliun) dan provisi sumber daya hutan (RP 6,48 triliun). Kerugian ini masih ditambah tidak diterimanya dana reboisasi. Angka tersebut dinilai tidak sebanding antara resiko kerusakan dan kerugian yang diderita dengan pendapatan negara.
Pemerintah daerah hendaknya mengedepankan efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan SDA melalui aspek keberlangsungan secara ekonomi dan ekologis dalam pembangunan. Sebagai contoh bahan belajar yaitu kajian World Resources Intitute yang pada kesimpulannya mengusulkan pentingnya penjagaan hutan dalam rangka penyediaan air bersih untuk jangka waktu panjang, dari pada harus mengeluarkan biaya investasi hingga jutaan miliar dolar untuk pembangunan infrastruktur sistem penyaringan air yang higienis.
New York merupakan contoh salah satu kota yang sudah menerapkan proses ini dan hasilnya, jutaan dolar bisa
dihemat melalui konservasi hutan-hutan alam disekitar. Melalui berbagai perhitungan dan tinjauan, World Resources Intitute menilai bahwa konservasi hutan adalah cara teramat efektif dalam penekanan biaya, tapi tetap menghasilkan air bersih dan udara bersih (Southern Forests.org).
Pemerintah daerah, hendaknya memiliki kepekaan untuk merefleksikan kebijakan pengelolaan SDA dan pelestarian lingkungan hidup dalam hubungan pengembangan analisi daya dukung lingkungan dari aspek pengintegrasian daya dukung ruang kelola wilayah untuk kenpentingan pembangunan. Sebab,secara logika dapat dibaca bahwa meningkatnya produktivitas bencana hampir dapat dipastikan beriringan dengan peningkatan pertumbuhan industrialisasi ektratsi sumber daya alam yang selama ini menjadikan ruang-ruang penyangga kehidupan utama, sebagai yang tidak pernah diprhitungkan secara ekonomy-ekology. Sebagai contoh Kabupaten Morowali dengan model pembangunan yang berbasis ekstratsi sumber daya alam melalui penggenjotan pertumbuhan industrialisasi tambang dan sawit menjadikan wilayah ini sangat rentan dengan bencana tahunan seperti erosi, banjir, longsor dimasa-masa mendatang.
Tindakan penting dari semua input kritis tersebut, optimalisasi peran pengelolaan dan pemanfaatan SDA dan pengendalian kerusakan lingkungan secara massive, dengan menciptakan suatu mekanisme kerja melalui tata kelola yang baik sesuai prinsif good governance.

 

 

 

Sumber: majalahpantau.com

Spread the love
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Need Help?