Mengapa Produk Indonesia Susah Menembus Pasar Jepang?

Rate this post

JAKARTA – Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) perlu direvisi ulang. Dalam implementasinya, banyak hal yang dinilai masih merugikan Indonesia. Misalnya, untuk urusan hambatan non-tarif, seperti standardisasi.
Meskipun ada penurunan tarif bea masuk ke Jepang dalam IJEPA, namun produk Indonesia belum leluasa menembus pasar Jepang, akibat tak mampu memenuhi standar.
“Dengan IJEPA ini diharapkan ada peningkatan ekspor untuk produk pertanian, perikanan dan perkebunan. Tetapi IJEPA tidak membuat kualifikasi standar yang menjadi hambatan nontarif di Jepang melemah,” ungkap penulis buku “Dalam Bayangan Matahari Terbit”, Shanti Darmastuti, Jumat (24/10/2014).
Dalam buku yang ditulis bersama Syamsul Hadi itu, dicontohkan standardisasi produk perkebunan yang menyulitkan adalah sistem pengenalan residu pestisida. Sistem ini diberlakukan pemerintah Jepang sejak Mei 2006. Dalam sistem ini, ditetapkan ambang batas yang ketat untuk sekitar 50.000 residu kimia dalam 734 jenis pestisida.
Tak hanya untuk produk segar saja, Shanti juga menerangkan terdapat kecenderungan produk usaha kecil menengah semakin sulit menembus pasar ekspor. Jepang, dan negara maju lain seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, mulai menerapkan jejak telusur produk (trace ability) makanan dan minuman.
Jargon cinta produk dalam negeri bukan hanya milik Indonesia. Masyarakat Jepang malah lebih memegang dan mengimplementasikan jargon ini. Shanti, dalam bukunya menyebut, kesulitan menembus pasar Jepang disebabkan juga oleh karakter masyarakat Jepang, yang lebih menyukai produk nasional mereka.
“Istilah koku-san daichi, yang artinya produk dalam negeri adalah nomor satu, telah menjadi semacam ideologi dalam masyarakat Jepang,” kata dia.
Namun demikian, Shanti juga memandang, masih susahnya produk Indonesia menembus pasar Jepang sedikit banyak disebabkan PR domestik yang belum rampung. Misalnya, sebenarnya kata dia, permintaan sayuran segar (hortikultura) dari Jepang sangat tinggi. Produsen petani di Indonesia tidak mampu memenuhi permintaan.
“Kita tidak bisa memenuhi permintaan itu karena domestik kita masih berhadapan dengan masalah infrastruktur, suku bunga, dan sebagainya. Sehingga produktivitas petani rendah,” ujar Shanti.

Spread the love
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Need Help?