KENAIKAN UPAH TAHUNAN, MOMOK ATAU REALITA ?

PQ News
Rate this post

Sudah banyak demonstrasi buruh terjadi. Banyak berita yang kita dengar, lihat dan baca di media. Para pekerja sudah mulai menuntut kenaikan upah, di luar tuntutan yang lain. Baik yang berujung ricuh ataupun berlangsung dengan tertib dan damai. Walau tidak semua dari kita mengalaminya sendiri (dan tidak ingin mengalaminya, pasti). Kenapa mereka sudah ribut dari
sekarang? Sementara kita sendiri, sebagai bagian dari manajemen perusahaan, masih berupaya mencapai target, dan melebihinya, bila perlu. Untuk apa? Tentu saja untuk mempermudah kita membuat rencana budget tahun depan, termasuk biaya kenaikan budget upah karyawan yang harus diajukan.

 

Masih terbayang kenaikan UMP tahun 2013 kemarin. Perusahaan kelas kecil menengah masih terseok-seok membenahi stuktur biaya SDM yang harus dikeluarkan. Banyak perusahaan yang mengajukan penangguhan kenaikan upah ke Disnaker terkait. Besarnya persentase kenaikan upah ini pun telah membuat banyak perusahaan kolaps. Kita dengar juga banyak perusahaan asing hengkang ke luar negeri. Pengusaha mencari lokasi pabrik baru dengan biaya jauh lebih rendah. Apakah ini dialami semua perusahaan? Tentu tidak. Banyak perusahaan besar dengan santai melenggang melewati batas minimum upah yang diberikan.

 

Tapi, pernahkah terpikir oleh kita kenapa semua ini sampai terjadi? Apakah hanya biaya rendah yang menjadi bahan pertimbangan utama? Tentu tidak. Banyak faktor yang menjadi pertimbangan. Hal ini bisa berbeda tergantung besar dan bidang usaha yang digeluti perusahaan. Namun, yang menjadi pertimbangan utama, dan pasti sama adalah tingkat produktivitas.
Semua perusahaan pasti menginginkan sumber daya manusianya bekerja dengan tingkat produktivitas optimal. Bagaimana dengan situasi Indonesia saat ini?

 

Dalam satu diskusi bertajuk New Global Norm di Jakarta, penasihat IMF untuk Asia Pasifik, David Cowen, mengakui Pemerintah dan BI telah membuat langkah tepat meredam dampak krisis global jangka pendek. Namun, untuk jangka menengah, masalah struktural harus dibenahi untuk memperkokoh daya tahan fundamental perekonomian. Tingkat upah minimum Indonesia relatif sangat tinggi dibandingkan negara lain, turut memacu inflasi. Berkorelasi dengan tingkat produktivitas yang menentukan daya saing di pasar global. Indonesia memiliki banyak tenaga kerja, sebagian besar di sektor pertanian, dengan produktivitas rendah. Harus ada reformasi struktural untuk beralih ke sektor bernilai tambah.

 

Masalah upah, selalu menjadi perbincangan setiap menjelang akhir tahun. Tapi, pernahkah kita mendengar diskusi membicarakan produktivitas? Sangat jarang. Kita tahu semua perusahaan memiliki target dan KPI masing-masing. Tapi, apakah mereka membuatnya dengan benar? Tepat dalam arti mengukur apa yang sebenarnya diinginkan. Tak sedikit perusahaan yang menjalankan atau membuat KPI dan target hanya sebagai formalitas untuk menilai karyawan. Banyak juga yang membuat target kerja hanya untuk bagian sales dan bagian produksi yang jelas-jelas memang bisa terlihat pencapaiannya. Apakah memang seperti itu? Pastinya tidak.

 

Produktivitas adalah rasio hasil kerja dengan input. Contohnya, salesman harus menjual X per minggu. Jelas kalau dia tidak mencapai X berarti dia tidak produktif atau tidak optimal kerjanya. Untuk tenaga administratif, kita buat target untuk tugas-tugas utamanya. Anda bisa buat dia harus membuat atau membalas X surat dalam satu hari. Untuk itu memang dibutuhkan uraian pekerjaan yang jelas.

 

Pernahkah kita memikirkan hal ini? Banyak kita lihat untuk karyawan non-sales dan produksi, penilaian ataupun target kerja lebih bersifat kualitatif. Sehingga produktifitas mereka relatif tidak terdeteksi eksplisit. Disini diperlukan kejelian kita untuk melihat dan menentukan faktor apa yang dapat dijadikan sebagai penentu produktivitasnya.

 

Dengan telah ditentukannya tingkat produktivitas per karyawan, perusahaan dapat merumuskan jumlah orang yang diperlukan pada setiap bagian. Tingkat produktivitas optimal akan menghindari pemborosan tenaga kerja. Diperlukan keberanian HR dan manajemen perusahaan untuk tidak menggunakan, dalam arti juga, memberhentikan karyawan yang tidak produktif. Semua karyawan jelas tugas dan target yang harus dicapai. Perusahaan pun dapat melakukan penyesuaian gaji berdasarkan pencapaian produktivitas atau target masing-masing karyawan. Perusahaan akan memiliki sedikit karyawan dengan tingkat produktivitas yang maksimal.

 

Semakin tinggi tingkat kesulitan menyelesaikan tugas berkorelasi dengan semakin tinggi persyaratan yang harus dimiliki karyawan. Hal ini menjadikan perlunya ada pembagian kelas jabatan atau job grading. Kenapa perlu? Setiap orang pasti merasa dirinya ‘penting’ bagi perusahaan. Dengan adanya kelas jabatan, akan jelas peringkat jabatan satu dengan yang lain.
Kelompok jabatan teknis akan lebih mudah dibuatkan target kuantitatif dibandingkan kelompok jabatan manajemen. Namun bukan berarti tidak mungkin. Disini dibutuhkan kepiawaian HR untuk dapat memformulasikan sehingga bisa diterapkan di lapangan.

 

Karyawan-karyawan yang produktif akan mempermudah perusahaan mencapai visi dan misinya di masa mendatang. Semua rencana sudah dapat dibuat estimasi dan perhitungan di atas kertas, tanpa kuatir terjadi prosentase penyimpangan berlebihan. Pengusaha dapat menjalankan usahaya dengan tenang dengan memonitor hasil yang telah dibuat perencanaannya dengan matang. Penyimpangan yang telah diperhitungkan pun mungkin saja bisa dikurangi atau bahkan tidak terjadi, dengan semakin tingginya keahlian/expertise karyawan.

 

Sehingga dapat disimpulkan, kenaikan upah tahunan bukan merupakan momok yang harus ditakuti. Ini adalah realita yang harus dihadapi setiap pengusaha dan perusahaan. Perusahaan tidak perlu kuatir, karena telah melakukan antipasi dengan cara mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki, terutama sumber daya manusianya. Kita pun wajib melakukan antisipasi dan
membuat estimasi kenaikan upah tahunan dengan mempertimbangkan COLA dan tingkat inflasi yang terus meningkat setiap tahunnya. Perusahaan tidak perlu berpikir untuk melakukan relokasi usahanya ke luar negeri.

 

Seperti disampaikan Ketua Umum Apindo, Sofjan Wanandi, dalam kesempatan yang sama, Pemerintah harus menjaga tingkat kenaikan upah minimum provinsi selaras dengan upaya menjaga kesinambungan pekerjaan dan penciptaan lapangan kerja baru. Instruksi Presiden tentang pengupahan bisa menjadi solusi bagi industri. Sekarang saatnya kita bersatu agar perekonomian Indonesia tidak semakin parah. Kita tetap ingin buruh sejahtera, tetapi jangan sampai kenaikan upah tidak masuk akal malah membuat industri tutup dan lapangan kerja berkurang.

 

Sumber: topcareermagazine.com

Spread the love
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Oh no...This form doesn't exist. Head back to the manage forms page and select a different form.
Need Help?